DI SEBUAH puskesmas sederhana di Kabupaten Bekasi, tawa mengambang di udara siang itu.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tengah mendampingi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meninjau penanganan penyakit kusta di Puskesmas Sirnajaya, Rabu, 23 Juli lalu.
Di sela kegiatan resmi itu, Dedi tiba-tiba melontarkan candaan kepada sejumlah ibu-ibu penerima bantuan.
Gurauan itu menyasar tubuh dan pengalaman perempuan—hal yang selama ini terlalu sering dianggap sepele, padahal menyakitkan.
Baca Juga:
Reni Rahmawati, Korban TPPO di Tiongkok, dan Upaya Mendalam Polda Jabar untuk Perlindungan
Dampak MBG di KBB: 364 Siswa Keracunan, Bagaimana Sistem Pangan Kita Bertahan
Retakan Pasca Gempa Bekasi M 4,9: Karawang Hadapi Ujian Ketangguhan
“Kalau gurauan seperti ini datang dari warga biasa di warung kopi, mungkin bisa dimaklumi,” kata Dahlia Madanih, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Sabtu, 27 Juli 2025.
“Tapi jika itu datang dari pejabat negara, lain perkara.”
Komnas Perempuan pun mengeluarkan imbauan resmi. Lembaga ini meminta Dedi berhenti mengulang gurauan seksis, terutama dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik.
“Kami mengimbau KDM untuk tidak lagi menjadikan tubuh dan pengalaman perempuan sebagai bahan candaan,” ujar Dahlia.
Baca Juga:
Ledakan Sumur Gas Cidahu: Investigasi Gabungan Bongkar Akar Masalah Keselamatan
Resepsi Megah Anak Pejabat Jadi Horor, 3 Orang Tewas Terinjak Kerumunan
Kasus Bayi Meninggal di RSUD Linggajati, Dedi: Pencopotan Wewenang Bupati
Ketika Humor Menjadi Sarana Kekerasan Seksual Struktural
Dalam budaya patriarki, candaan seksis dianggap bagian dari interaksi sosial yang lumrah.
Namun sejak Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan, humor semacam ini telah melintasi garis batas etika dan hukum.
Pasal 5 UU No.12 Tahun 2022 dengan jelas memasukkan pelecehan verbal dan non-verbal, termasuk gurauan yang merendahkan, sebagai tindak pidana kekerasan seksual.
Baca Juga:
Langit Jawa Barat Disemai Garam: Sains Menjinakkan Banjir Jakarta
Ridwan Kamil Lawan Balik: Serangan Digital Jadi Gugatan Rp105 Miliar
Dinilai Layak Jadi Polda Terbaik, Polda Jabar Tuai Pujian Kompolnas
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa warga punya hak untuk melaporkan pejabat yang melanggar moral etik, meski hanya dengan sepotong kalimat bernada merendahkan.
“Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi cermin nilai dan struktur berpikir,” kata Dahlia.
Lebih dari itu, candaan seksis memelihara pandangan yang membenarkan inferioritas perempuan, menyuburkan stereotipe, dan menjadikan pengalaman tubuh perempuan sebagai bahan hiburan.
Patriarki yang Terinternalisasi dan Candaan yang Melukai Diam-Diam
Bagi sebagian orang, kelakar semacam itu mungkin dianggap ringan.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Namun bagi banyak perempuan, ia menyimpan luka yang tak kelihatan. Luka yang mengingatkan pada sistem sosial yang terus-menerus menertawakan, mengejek, dan merendahkan mereka.
Dahlia Madanih menyebutkan bahwa bentuk pelecehan semacam ini kerap tidak disadari pelakunya karena telah menjadi bagian dari normalitas yang dibangun sejak lama.
“Misogini telah terinternalisasi dalam cara kita melihat tubuh dan pengalaman perempuan,” katanya lagi.
Dalam kasus Dedi Mulyadi, gurauan itu terjadi di ruang publik, di tengah forum resmi negara. Maka, dampaknya pun tidak kecil.
Ia bisa menormalisasi kekerasan simbolik, dan lebih dari itu, menjadi teladan buruk bagi masyarakat, terutama generasi muda yang tengah belajar memahami relasi gender secara sehat.
Negara yang Tidak Netral: Publik Figur dan Tanggung Jawab Moral
Komnas Perempuan bukan satu-satunya lembaga yang bersuara.
Aktivis perempuan Neni Nur Hayati bahkan melayangkan somasi kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, menuntut permintaan maaf terbuka atas pernyataan Dedi yang dinilai melukai martabat perempuan.
“Sebagai gubernur, Dedi tak boleh berlindung di balik dalih guyonan. Ia punya tanggung jawab moral,” ujar Neni.
Pejabat publik bukan sekadar individu. Ia adalah representasi negara dalam praktik sehari-hari.
Jika negara diwakili oleh pejabat yang mengobjektifikasi perempuan dalam guyonan, maka pesan yang tersampaikan adalah negara pun tak netral dalam kekerasan berbasis gender.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa kehati-hatian dalam bertutur bukan soal etika personal semata, tetapi juga tanggung jawab institusional.
Menggugat Normalitas: Saat Warga Tak Lagi Diam
Respon publik terhadap insiden ini menunjukkan adanya perubahan sikap masyarakat terhadap kekerasan simbolik.
Di media sosial, tagar #GurauanBukanAlasan sempat menggema, memperlihatkan bahwa masyarakat kini lebih sadar akan bahaya candaan seksis.
“Ini bukan hanya soal Dedi Mulyadi, tapi tentang bagaimana negara memposisikan perempuan di ruang publik,” tulis akun @PerempuanBicara di X.
Fenomena ini juga menunjukkan semakin kuatnya kesadaran hukum dan keberanian warga untuk menuntut akuntabilitas, tak peduli jabatan atau popularitas sang pelaku.
“Dulu orang takut bicara karena malu atau takut tidak dianggap. Sekarang, kami tahu hak kami,” kata Rina, seorang aktivis muda dari Bandung.
Mereka menolak terus-menerus menjadi objek. Mereka menggugat agar gurauan berhenti menjadi senjata yang melukai secara tak kasat mata.
Menuju Etika Publik Baru: Mendidik Pejabat Lewat Kritik
Insiden ini memberi pelajaran penting bahwa publik figur harus tumbuh bersama kesadaran zaman.
Era ketika perempuan dianggap bisa ditertawakan di depan umum sudah usai.
Sebagai pemimpin daerah yang kerap tampil nyentrik dan dekat dengan rakyat, Dedi Mulyadi seharusnya peka terhadap perubahan nilai yang tengah dibangun masyarakat.
Apalagi, narasi kesetaraan gender kini bukan hanya tuntutan LSM atau kelompok perempuan, melainkan telah menjadi bagian dari hukum nasional dan kesadaran kolektif.
Jika pejabat publik tetap bercanda dengan cara lama, maka masyarakat berhak mengingatkan. Bahkan, menggugatnya secara hukum.
Demi ruang publik yang lebih adil dan setara, barangkali sudah saatnya kita mengubah definisi “candaan.”***
Sempatkan untuk membaca berbagai berita dan informasi seputar ekonomi dan bisnis lainnya di media Infoemiten.com dan Panganpost.com.
Simak juga berita dan informasi terkini mengenai politik, hukum, dan nasional melalui media Infoseru.com dan Poinnews.com.
Informasi nasional dari pers daerah dapat dimonitor langsumg dari portal berita Jatengraya.com dan Hallobandung.com.
Untuk mengikuti perkembangan berita nasional, bisinis dan internasional dalam bahasa Inggris, silahkan simak portal berita Indo24hours.com dan 01post.com.
Pastikan juga download aplikasi Hallo.id di Playstore (Android) dan Appstore (iphone), untuk mendapatkan aneka artikel yang menarik. Media Hallo.id dapat diakses melalui Google News. Terima kasih.
Kami juga melayani Jasa Siaran Pers atau publikasi press release di lebih dari 175an media, silahkan klik Persrilis.com
Sedangkan untuk publikasi press release serentak di media mainstream (media arus utama) atau Tier Pertama, silahkan klik Publikasi Media Mainstream.
Indonesia Media Circle (IMC) juga melayani kebutuhan untuk bulk order publications (ribuan link publikasi press release) untuk manajemen reputasi: kampanye, pemulihan nama baik, atau kepentingan lainnya.
Untuk informasi, dapat menghubungi WhatsApp Center Pusat Siaran Pers Indonesia (PSPI): 085315557788, 087815557788.
Dapatkan beragam berita dan informasi terkini dari berbagai portal berita melalui saluran WhatsApp Sapulangit Media Center